Kisah Qabil, Habil, dan Nabi Nuh

Wiji Al Jawi
Islampedia
Published in
5 min readApr 24, 2024

--

Photo by Lucas Chizzali on Unsplash

Dalam Al Qur’an, kisah Qabil dan Habil disebutkan dalam surat Al Maa’idah: 27–32. Namun, Al Qur’an tidak menyebutkan nama mereka, melainkan hanya menggunakan istilah ‘dua putra Adam’ (إبني آدم).

Nama Qabil (قابيل) dan Habil (هابيل) yang digunakan dalam kitab-kitab tafsir umumnya berasal dari atsar sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti misalnya dalam Tafsir Ibnu Katsir yang menyandarkan kisah ini pada atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Sedangkan dalam Alkitab, kisah dua putra Adam tersebut disebutkan dalam Kitab Kejadian 4:1–15. Alkitab menyebut nama mereka sebagai Kain dan Habel, yang merupakan terjemahan bahasa Inggris tradisional dari nama Ibrani, yaitu Qayin (קין) dan Havel (הבל).

Nabi Nuh dan Keturunan Qabil

Kitab Kejadian 4:16–22 menceritakan bahwa setelah Kain/Qabil membunuh Habel, Kain dihukum untuk hidup mengembara di sebelah timur Eden. Kain kemudian beranak pinak dan mendirikan kota.

Kitab Kejadian 4:25–26 lalu menyebutkan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam dikaruniai anak, sebagai pengganti Habel, yang diberi nama Set. Dalam tradisi Islam, Set ini dikenal sebagai Nabi Syits ‘alaihis salam.

Nabi Syits tidak disebutkan dalam Al Qur’an. Umumnya, kisah Nabi Syits dalam tradisi Islam berasal dari sumber Israiliyat, seperti Kitab Kejadian bab 4 dan 5.

Kitab Kejadian bab 5 menyebutkan daftar keturunan Nabi Adam, mulai dari Syits sampai Nuh ‘alaihis salam. Dalam versi Alkitab, garis keturunan Nabi Adam hingga Nabi Nuh meliputi 10 patriark/datuk.

Patriark ke-7 adalah Henokh (Enoch) yang dalam Islam dikenal sebagai Nabi Idris ‘alaihis salam. Lihat kembali tulisan Kisah Nabi Idris dalam Al Quran dan Alkitab.

Genealogi Nabi Adam hingga Nabi Nuh versi Alkitab (sumber gambar: www.anchormyfaith.com)

Kitab Kejadian bab 6 lalu mulai menceritakan kisah Nabi Nuh. Kitab Kejadian 6:2 menyatakan, “maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu”.

Ayat ini menceritakan bahwa saat itu terdapat dua komunitas, yaitu keturunan Nabi Syits yang disebut sebagai ‘anak-anak Allah’, dan keturunan Qabil yang disebut sebagai ‘anak-anak manusia’.

Dua komunitas tersebut kemudian berbaur melalui proses perkawinan, sehingga lahirlah generasi yang dalam Kitab Kejadian 6:5 disebutkan, “bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata”.

Pada generasi inilah Nabi Nuh diutus. Al Qur’an surat Nuh: 27 menyebutkan bahwa kaum yang didakwahi Nabi Nuh adalah orang-orang yang “tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir”.

Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian mengirim azab berupa banjir besar yang menghapus semua manusia dari muka bumi, kecuali orang-orang beriman di dalam bahtera Nabi Nuh.

Istri Nabi Nuh

Al Qur’an surat At Tahrim: 10 menyatakan bahwa “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing”.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa pengkhianatan yang dilakukan istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth bukanlah zina atau selingkuh, melainkan dalam masalah agama dan iman.

Ibnu Katsir menyebutkan atsar dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa pengkhianatan yang dilakukan kedua istri tersebut berupa tidak seagama dengan suaminya masing-masing.

Istri Nabi Nuh adalah orang kafir yang berasal dari keturunan Qabil. Syariat di masa itu masih memperbolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan kafir.

Anak-anak Nabi Nuh ada yang beriman mengikuti dirinya, dan ada yang kafir mengikuti istri Nabi Nuh. Anak-anaknya yang beriman ikut di dalam bahtera saat banjir besar.

Sedangkan anaknya yang kafir menolak untuk menaiki bahtera sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Huud: 42–43.

Nabi Nuh sebagai Rasul Pertama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat menyampaikan hadits tentang umat manusia yang meminta syafaat para nabi di hari kiamat, menceritakan bahwa orang-orang mendatangi Nabi Nuh seraya berkata,

يَا نُوحُ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ

“Wahai Nuh, engkau adalah Rasul pertama yang diutus untuk penduduk bumi.”

(HR. Bukhari no. 3092 versi aplikasi Lidwa; no. 3340 versi Fathul Bari)

Nabi Nuh disebut sebagai rasul pertama karena dia adalah nabi pertama yang diutus kepada orang-orang kafir. Sementara Adam, Syits, dan Idris hidup di zaman di mana dakwah mereka belum ditentang oleh orang-orang kafir.

Al Qadhi Iyadh berkata, “Sesungguhnya Adam diutus kepada keturunannya dan mereka bukan orang kafir, tetapi dia diperintahkan untuk mengajari mereka beriman dan taat kepada Allah Ta’ala. Begitu juga dengan pengganti setelahnya yaitu Syits yang diutus kepada mereka. Hal ini berbeda dengan risalah Nuh, sebab beliau diutus kepada orang kafir dari penduduk bumi ini.”[1]

Hal ini pula yang menjadi perbedaan antara nabi dan rasul.

Nabi, dari kata An Naba’ (النبأ) yang berarti ‘berita besar’, adalah orang yang mendapatkan berita dari langit (wahyu) dan disampaikan kepada orang lain tanpa mendapatkan penentangan dari orang-orang kafir.

Sedangkan rasul, dari kata Al Irsal (الإرسال) yang berarti ‘pengarahan’, adalah orang yang mendapatkan wahyu dan disampaikan kepada orang lain, namun mendapatkan penentangan dari orang-orang kafir.

Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang berkata bahwa rasul diutus kepada umat yang menentangnya. Sedangkan nabi diutus kepada umat yang tidak menentangnya.[2]

Sehingga, nabi adalah orang-orang yang mendapat berita besar dari langit dan disampaikan kepada orang lain. Di antara para nabi tersebut ada yang mendapat penentangan hingga mengancam nyawanya, mereka inilah yang disebut rasul.

Karena itu, semua rasul adalah nabi, tetapi tidak semua nabi adalah rasul. Karena tidak semua nabi mendapat penentangan yang mengancam nyawanya.

Al Qur’an surat Nuh: 23 menunjukkan bahwa Nuh adalah nabi pertama yang menghadapi pelaku kemusyrikan. Lihat kembali tulisan Sejarah Politeisme.

Nabi Nuh pun menghadapi penentangan dan ancaman dari orang-orang kafir. Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam” (QS. Asy Syu’araa’: 116).

Karena itulah Nabi Nuh disebut sebagai rasul pertama yang diutus untuk penduduk bumi.

Wallahu A’lam

[1] Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Jilid 2 (Jakarta: Darus Sunnah, 2013), hal. 334.

[2] https://muslim.or.id/75191-perbedaan-antara-nabi-dan-rasul.html (diakses pada 24 April 2024, pukul 13.35).

--

--