Sejarah Politeisme

Wiji Al Jawi
Islampedia
Published in
4 min readFeb 27, 2020

--

gambar buku sejarah, pulpen, dan kaca pembesar

Politeisme adalah penyembahan atau kepercayaan kepada lebih dari satu Tuhan. Dalam Islam, politeisme merupakan bentuk syirik akbar.

Kaum Nabi Nuh

Saat membahas Qur’an Surat Nuh ayat 23, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengutip hadits riwayat Bukhari yang menyebutkan bahwa Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah orang-orang saleh dari kaum Nabi Nuh.[1]

Ketika orang-orang saleh tersebut wafat, kaumnya memahat gambar atau membuat patung di kuburan mereka dengan tujuan untuk mengenang kebaikan dan jasa mereka. Awalnya patung-patung tersebut tidak disembah.

Namun setelah berganti generasi, penghormatan terhadap orang-orang saleh tersebut berubah menjadi pemujaan. Patung-patung mereka disembah, kuburan mereka menjadi tempat ibadah, sehingga Nabi Nuh pun diutus untuk berdakwah kepada kaum tersebut.

Harut dan Marut

Muhammad Al-Thahir Ibn ‘Asyur dalam kitab tafsirnya, al-Tahrir wa al-Tanwir, saat membahas Qur’an Surat Al Baqarah ayat 102 mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah orang saleh yang tinggal di kota Babilon. Harut merupakan nama perempuan, sedangkan Marut adalah nama laki-laki.[2]

Harut dan Marut memberitahukan hakikat sihir agar masyarakat tidak terpukau oleh tipuan sihir. Saat itu syariat melarang mempraktikkan sihir, namun boleh mempelajarinya untuk mengetahui hakikat tipuan sihir. Sedangkan saat ini syariat melarang mempraktikkan dan mempelajari sihir.

Ketika Harut dan Marut wafat, kaumnya memahat gambar atau membuat patung mereka. Setelah berganti generasi, penghormatan terhadap mereka menjadi berlebihan. Harut dan Marut dianggap telah dijadikan malaikat oleh Tuhan sebagai balasan atas jasa dan kesalehannya.

Dalam bahasa Sumeria, Marut disebut Ma-ru-tu-uk. Orang Yahudi menyebutnya Merodach, sedangkan sejarawan Barat menyebutnya Marduk. Istri Marduk adalah Haruru.

Orang Babilon menganggap Tuhan telah mengangkat Marut ke bintang Enlil (planet Jupiter), sedangkan Harut diangkat ke bintang Inanna (planet Venus).

Mereka juga menganggap Tuhan telah menghadiahi Marut kekuatan untuk mewakili/membantu Tuhan mengendalikan sihir (menjadi dewa sihir), sedangkan Harut dihadiahi kekuatan untuk mewakili/membantu Tuhan mengendalikan kesuburan (menjadi dewi kesuburan).

Arab Jahiliyah

Di antara berhala yang disembah bangsa Arab Jahiliyah adalah Laata. Laata sendiri awalnya adalah seorang saleh dari Thaif yang sering menyediakan makanan untuk jamaah haji.

كَانَ اللَّاتُ رَجُلًا يَلُتُّ سَوِيقَ الْحَاجِّ

“Laata adalah seorang laki-laki yang membuat adonan roti untuk orang-orang yang berhaji.”

(HR. Bukhari)[3]

Setelah Laata wafat, dibuatlah rumah dan kelambu di atas kuburannya. Kuburan tersebut juga memiliki juru kunci yang merawatnya. Sehingga Laata pun kemudian menjadi berhala yang disembah.

Walaupun menyembah berhala, namun orang-orang Arab Jahiliyah tetap meyakini akan keberadaan Allah.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?” Niscaya mereka menjawab: “Allah.”

(QS. Az Zukhruf: 87)

Orang-orang Arab Jahiliyah menganggap bahwa penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah sarana tawassul (mendekatkan diri kepada Allah).

Mereka menganggap bahwa berhala (orang soleh yang telah wafat) tersebut memiliki karomah/keramat sehingga dapat menjadi perantara kepada Allah.

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”

(QS. Az Zumar: 3)

Namun Islam tetap melarang penyembahan berhala tersebut, walaupun dimaksudkan sebagai sarana tawassul. Karena bentuk tawassul ini menjadikan zat, hak, dan kedudukan makhluk sebagai perantara kepada Allah.

Sedangkan tawassul yang dibolehkan antara lain adalah melalui amal saleh kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam, serta melalui doa orang saleh yang masih hidup.

Tahapan Politeisme

Berdasarkan sejarah politeisme yang telah disebutkan di atas, setidaknya ada tiga tahapan politeisme:

Pertama, menghormati orang saleh secara berlebihan. Seperti misalnya menjadikan kuburannya sebagai tempat ibadah atau menganggap gambar orang saleh tersebut dapat memberi keberkahan.

Kedua, menganggap orang saleh yang sudah meninggal tersebut telah diangkat kedudukannya menjadi pembantu (malaikat) atau keluarga Allah.

Seperti misalnya Nabi Isa yang dianggap sebagai anak Allah, atau Harut dan Marut yang dianggap sebagai malaikat atau dewa yang mewakili/membantu Allah mengendalikan kekuatan tertentu.

Ketiga, menjadikan para dewa (orang saleh yang sudah meninggal tersebut) sebagai sembahan yang paling utama melebihi Allah.

Seperti misalnya dalam agama tradisional China, ada yang namanya Shangdi atau Dewa Langit Tertinggi. Walaupun diakui sebagai Dewa Langit Tertinggi, namun yang disembah oleh penganutnya adalah beragam dewa yang berbeda, atau tokoh leluhur keluarga mereka.

Pola Yang Berulang

Fenomena politeisme ini menunjukkan adanya pola sejarah yang berulang, di awali dari penghormatan yang berlebihan kepada orang-orang saleh.

Karena itulah Nabi Muhammad pun mengingatkan agar tidak berlebihan dalam memuji dan mengagungkan dirinya shallallaahu’alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ

“Janganlah kalian melampaui batas dalam memuji (mengagungkan) diriku sebagaimana orang Nasrani mengagungkan ‘Isa bin Maryam.”

(HR. Bukhari)[4]

Termasuk dalam hal ini adalah tidak menjadikan kuburan orang saleh sebagai tempat ibadah.

Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiyallahu ‘anhuma pernah berhijrah ke negeri Habasyah, lalu menceritakan keindahan gereja di negeri tersebut, dan adanya gambar atau patung-patung di dalamnya.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ثُمَّ صَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّورَةَ أُولَئِكِ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka (orang-orang Habasyah) adalah kaum yang apabila ada hamba saleh di antara mereka yang meninggal, maka dibangun tempat ibadah di atas kuburannya, dan dibuatkan gambar atau patung dari orang yang meninggal itu. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.”

(HR. Bukhari)[5]

Walaupun orang saleh tersebut dianggap Wali Allah, namun kita tetap tidak boleh berlebihan dalam menghormatinya. Karena hal ini dapat membuka celah kemusyrikan (politeisme).

Wallahu A’lam

[1] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 823.

[2] “Siapa Harut dan Marut?” https://www.islampos.com/siapa-harut-dan-marut-182647/ (diakses pada 27 Februari 2020, pukul 11.25).

[3] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits — Kitab 9 Imam, Kitab Shahih Bukhari no. 4481 (no. 4859 versi Fathul Bari).

[4] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits — Kitab 9 Imam, Kitab Shahih Bukhari no. 3189 (no. 3445 versi Fathul Bari).

[5] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits — Kitab 9 Imam, Kitab Shahih Bukhari no. 1255 (no. 1341 versi Fathul Bari).

--

--