Kisah Nabi Hud dan Raja Namrud

Wiji Al Jawi
Islampedia
Published in
9 min readSep 21, 2023

--

Lukisan rekaan Menara Babel (sumber gambar: Wikipedia — Alexander Mikhalchyk)

Pada tulisan Nabi Ibrahim dan Tahun Baru di Mesopotamia, telah disebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam hidup di masa Amrafel/Amar-Sin menjadi Raja Sinear (Kitab Kejadian 14:1).

Sedangkan di banyak kitab tafsir Al Qur’an, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim hidup di masa kekuasaan Raja Namrud.

Padahal, nama Namrud/Nimrod tidak berasal dari Al Qur’an, melainkan dari Alkitab, yaitu Kitab Kejadian 10:6–12.

Ayat-ayat Alkitab itu mengisahkan bahwa Nimrod adalah keturunan Ham, dan merupakan penguasa (pemimpin para raja) pertama di muka bumi.

Nimrod disebutkan menguasai banyak negara kota, antara lain Babel, Erekh (Uruk), dan Akad di tanah Sinear (wilayah selatan Mesopotamia).

Lokasi wilayah Sinear (sumber gambar: quora.com — Boris Zakharin)

Ayat-ayat Alkitab itu tidak menyebutkan konfrontasi antara Nimrod dengan Nabi Ibrahim. Kisah konfrontasi tersebut berasal dari Sumber Israiliyat yang berbeda, di antaranya adalah Midrash Rabbah.

Midrash Rabbah adalah kumpulan penafsiran Alkitab Yahudi. Kisah Nimrod dengan Nabi Ibrahim disebutkan Midrash Rabbah di bagian Bereshit Rabbah 38:13.

Sehingga, ada dua versi Sumber Israiliyat mengenai penguasa yang berhadapan dengan Nabi Ibrahim di tanah Sinear.

Versi Alkitab menyatakan bahwa raja tersebut adalah Amrafel/Amar-Sin, sedangkan versi Midrash Rabbah (tafsir Alkitab) menyebutkan bahwa raja tersebut adalah Nimrod/Namrud.

Secara hierarki sumber, teks Alkitab lebih kuat dari teks penafsiran Alkitab (Midrash Rabbah). Karena itu, penguasa tanah Sinear di masa Nabi Ibrahim adalah Amrafel, bukan Nimrod.

Namrud dan Kaum ‘Aad Awal

Sementara itu, Namrud adalah pemimpin yang mengawali masa kejayaan kaum ‘Aad Awal. Setelah berlalu sekian waktu, di akhir masa kejayaan kaum ‘Aad Awal, Nabi Hud ‘alaihis salam diutus kepada mereka.

Al Qur’an surat Al A’raaf: 69 menyebut kaum ‘Aad sebagai خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ (khalifah/pengganti setelah kaum Nuh).

Alkitab pun menyebut kisah Namrud setelah kisah Nuh, dan menyebut Namrud sebagai “dialah yang mula-mula sekali orang yang berkuasa di bumi” (Kitab Kejadian 10:8).

Al Qur’an surat Al Fajr: 6–8 menyebut kaum ‘Aad sebagai “penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (kota/bangunan) seperti itu di negeri-negeri lain”.

Ayat ini menunjukkan bahwa kaum ‘Aad adalah bangsa yang pertama kali membuat bangunan tinggi. Dalam bahasa Semit Timur, Iram berarti ‘tempat yang tinggi’.

Ilustrasi Ziggurat, bangunan paling tinggi di masanya (sumber gambar: quora.com — Haley Kaufell)

Al Qur’an surat Asy Syu’araa’: 128–129 menjelaskan bahwa kaum ‘Aad “mendirikan pada tiap-tiap tempat tinggi bangunan”, serta “membuat benteng-benteng”.

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa peradaban kaum ‘Aad telah membangun kota-kota benteng dengan bangunan yang tinggi menjulang.

Sementara Alkitab mengisyaratkan bahwa kaumnya Raja Namrud telah membuat “kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit” (Kitab Kejadian 11:4) yang kemudian disebut Menara Babel.

David Rohl dalam bukunya, “Legend: The Genesis of Civilisation”, menyatakan bahwa Namrud adalah Enmerkar, Raja Kota Uruk yang hidup sekira 3400–3100 SM.[1]

Dalam bahasa Sumeria, Enmer-kar berarti Enmer sang Pemburu. Namrud pun digelari ”pemburu yang gagah” (Kitab Kejadian 10:9). Enmer dan Namrud juga punya kesamaan konsonan, yaitu pelafalan N-M-R.

Tablet tanah liat yang menceritakan serangan Enmerkar ke Aratta (sumber gambar: Wikipedia — Zunkir)

Selain itu, tablet-tablet tanah liat yang menceritakan kisah Enmerkar juga menyatakan bahwa raja tersebut kerap melakukan penaklukan militer serta memerintahkan pembangunan Ziggurat.

Ziggurat (Akkadia: ziqqurratum) secara bahasa berarti ‘tinggi atau menonjol’, serumpun dengan kata ‘zaqar’ dalam bahasa Semit yang artinya ‘menonjol’.

Ziggurat dibangun oleh bangsa Sumeria, Akkadia, dan Babilonia kuno sebagai tempat pemujaan. Piramida Mesir merupakan evolusi dari Ziggurat yang dibangun di Mesopotamia.

Enmerkar tercatat telah memerintahkan pembangunan Ziggurat di kota-kota yang dikuasainya, antara lain di Eridu dan Uruk.

Dakwah Nabi Hud

Al Qur’an surat Al ‘Ankabuut: 38 menyebut kaum ‘Aad sebagai وَكَانُوا مُسْتَبْصِرِينَ (mereka adalah orang-orang berpandangan tajam) yang menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang cerdas.

Al Qur’an surat Asy Syu’araa’: 130 menyebut kaum ‘Aad sebagai جَبَّارِينَ (orang-orang kejam), dan Fushshilat: 15 mencatat perkataan kaum ‘Aad bahwa “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?”

Ayat-ayat ini menunjukkan kaum ‘Aad sebagai bangsa yang kuat, sebagaimana Namrud/Enmerkar yang telah menaklukkan banyak negara kota dan menjadi imperium pertama di muka bumi.

Setelah menikmati masa kejayaan selama sekian waktu, Allah mengangkat seorang rasul dari dalam negeri mereka sendiri (QS. Al A’raaf: 65), yaitu Nabi Hud, untuk berdakwah kepada mereka.

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ

Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja?”

(QS. Al A’raaf: 70)

Ayat ini menunjukkan bahwa penolakan kaum ‘Aad terhadap dakwah Nabi Hud terutama pada perkara tauhid atau menyembah Allah semata.

Mereka tidak menolak jika penyembahan kepada Allah dibarengi dengan penyembahan pada tuhan-tuhan yang lain.

Hal ini sesuai dengan pola umum sejarah kemusyrikan, di mana para penyembah berhala pada awalnya tetap meyakini keberadaan Allah, tetapi mereka mereduksi peran Allah Ta’ala hanya sebagai pencipta.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?” Niscaya mereka menjawab: “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dipalingkan (dari menyembah Allah)?

(QS. Az Zukhruf: 87)

Serupa dengan Kisah Nabi Isa ‘alaihis salam, dakwah Nabi Hud pun mendapat tantangan dari dua golongan, yaitu kalangan liberal dan tradisionalis.

Kalangan liberal menjadikan akal sebagai sumber utama kebenaran, sehingga tidak percaya adanya kehidupan di akhirat.

Dan berkatalah para pemuka orang kafir dari kaumnya dan yang mendustakan pertemuan hari akhirat serta mereka yang telah Kami beri kemewahan dalam kehidupan dunia, “(Orang) ini (Nabi Hud) tidak lain hanya manusia seperti kamu, dia makan apa yang kamu makan, dan dia minum apa yang kamu minum.”

“Apakah dia menjanjikan kepada kamu, bahwa apabila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, sesungguhnya kamu akan dikeluarkan (dari kuburmu)?”

“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup, dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi.”

(QS. Al Mu’minuun: 33, 35, & 37)

Sedangkan kalangan tradisionalis menjadikan adat kebiasaan nenek moyang sebagai sumber utama kebenaran, sehingga menolak kebenaran yang disampaikan Nabi Hud.

Mereka menjawab: “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.”

(QS. Asy Syu’araa’: 136–137)

Azab dan Reruntuhan Kaum ‘Aad

Allah kemudian mengirim azab yang diawali dengan kekeringan. Lalu muncul awan yang disangka akan menurunkan hujan, tetapi awan itu ternyata hanya membawa angin (QS. Al Ahqaaf: 24).

Angin yang sangat dingin dan kencang tersebut melanda kaum ‘Aad selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus (QS. Al Haaqqah: 6–7).

Al Qur’an surat Al Ahqaaf: 25 menyebutkan فَأَصْبَحُوا لَا يُرَىٰ إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ, yaitu kaum ‘Aad menjadi hancur hingga tidak kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.

Ayat ini menunjukkan bahwa reruntuhan sisa-sisa tempat tinggal kaum ‘Aad masih dapat dilihat. Sementara ayat yang lain juga menyatakan,

وَاذْكُرْ أَخَا عَادٍ إِذْ أَنْذَرَ قَوْمَهُ بِالْأَحْقَافِ

“Dan ingatlah (kisah) saudara kaum ‘Aad (yaitu Nabi Hud), ketika dia mengingatkan kaumnya tentang bukit-bukit pasir.”

(QS. Al Ahqaaf: 21)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa jika kaum ‘Aad tidak mengikuti peringatan Nabi Hud maka kejayaan peradaban mereka akan berubah menjadi bukit-bukit pasir.

Dan hari ini kita dapat melihat reruntuhan sisa-sisa tempat tinggal kaum ‘Aad dalam bentuk yang menyerupai bukit-bukit pasir.

Reruntuhan Ziggurat Uruk yang menyerupai bukit pasir (sumber gambar: Wikipedia — tobeytravels)
Ziggurat di kota Ur saat proses ekskavasi di tahun 1924 (sumber gambar: Penn Museum — C. Leonard Woolley)

Hasil temuan arkeologis juga menyebutkan bahwa badai pasir telah menyebabkan runtuhnya imperium pertama di dunia, yaitu Kekaisaran Akkadia (sekira 2300–2100 SM).[2]

Fosil dari karang Porites menunjukkan, bertepatan dengan waktu runtuhnya Kekaisaran Akkadia, terjadi angin shamal (angin barat laut) berkepanjangan yang membawa badai pasir.

Badai pasir dan kurangnya curah hujan kemudian menyebabkan masalah pertanian, kelaparan, dan ketidakstabilan sosial.

Melemah dari dalam, wilayah kekuasaan Kekaisaran Akkadia akhirnya menjadi sasaran empuk suku-suku oportunistik yang tinggal di dekatnya.

Akkadia adalah kekaisaran yang namanya berasal dari nama kota Akkad di Mesopotamia. Alkitab menyebut nama kota Akkad sebagai awal mula kekuasaan Namrud.

“Mula-mula kerajaannya terdiri dari Babel, Erekh (Uruk), dan Akad, semuanya di tanah Sinear.” (Kitab Kejadian 10:10)

Wilayah Kekaisaran Akkadia di puncak masa kejayaannya (sumber gambar: quora.com — Walter Smyth)

Moyang Bangsa Arab

Nabi Hud tidak sezaman dengan Namrud. Namrud adalah pemimpin yang mengawali masa kejayaan kaum ‘Aad, sedangkan Nabi Hud hidup di akhir masa kejayaan kaum ‘Aad.

Al Qur’an surat Huud: 58 menyebutkan bahwa tatkala datang azab pada kaum ‘Aad, Allah menyelamatkan Nabi Hud dan orang-orang beriman yang bersamanya.

Kekaisaran Akkadia menyatukan suku-suku penutur bahasa Akkadia dan Sumeria di bawah satu pemerintahan, termasuk di dalamnya adalah suku rumpun Semit yang menjadi moyang bangsa Arab.

Tradisi lisan bangsa Arab menyatakan Nabi Hud sebagai leluhur bangsa Arab. Hal ini sejalan dengan hadits dari Ibnu Hibban, bahwa ada empat Nabi dari bangsa Arab, yaitu Hud, Shalih, Syu’aib, dan Muhammad.[3]

Kata ‘Arab’ berasal dari nama Ya’rub ibn Qahtan, pemimpin wilayah Yaman yang merupakan keturunan Nabi Hud. Ya’rub adalah nenek moyang ‘Arab al-’Aribah (orang Arab murni).

Keturunan Nabi Hud bermigrasi ke Yaman karena tanahnya relatif subur dan juga dilalui jalur dagang Mesopotamia — Mesir.

Peta jalur dagang Mesopotamia — Mesir dari milenium ke-4 SM (sumber gambar: Wikipedia — GFDL)

Kaum ‘Aad Kedua

Al Qur’an surat An Najm: 50 menyebut kaum ‘Aad yang didakwahi Nabi Hud sebagai عَادًا الْأُولَىٰ (kaum ‘Aad Awal). Karena ada kaum ‘Aad Kedua yang juga mendapat azab.

Kaum ‘Aad Awal berasal dari Sinear atau wilayah selatan Mesopotamia, sedangkan kaum ‘Aad Kedua berasal dari Yaman atau wilayah selatan Jazirah Arab.

Berikut ini adalah hadits yang menceritakan kaum ‘Aad Kedua:

Al Harits bin Yazid al Bakri dari bani Rabi’ah datang ke Madinah. Waktu itu masjid sedang dipenuhi orang, dan bendera hitam berkibar. Al Harits bertanya, “Ada apa?” Mereka menjawab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak mengutus ‘Amr bin Al ‘Ash ke suatu peperangan.

Al Harits lalu ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menyampaikan pesan dari kaumnya agar padang Ad Dahna menjadi pembatas antara kaumnya dengan Bani Tamim. Namun seorang tua dari Bani Tamim menunjukkan ketidaksukaannya.

Al Harits lalu berkata, “Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya agar aku tidak menjadi seperti utusan kaum ‘Aad.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa itu utusan ‘Aad?” padahal beliau lebih tahu dengan yang terjadi tentangnya.

Al Harits menjawab:

“Kaum ‘Aad mengalami paceklik, lalu mengutus Qail bin ‘Athar untuk berdoa di Tihamah (pesisir barat Jazirah Arab). Qail singgah di Mu’awiyah bin Bakr, dan dijamu dengan khamar serta dua budak perempuan yang menyanyikan lagu untuknya. Setelah itu Qail pergi ke Tihamah dan berdoa meminta hujan diturunkan untuk kaum ‘Aad. Kemudian muncul awan-awan hitam yang berarak ke pemukiman kaum ‘Aad. Itulah awan yang membakar habis semua benda, ia tidak menyisakan seorang pun dari kaum ‘Aad.”

Al Harits berkata, “Dari kejadian ini, jika ada satu kaum atau seseorang mengutus utusan, mereka akan menyampaikan pesan, ‘Janganlah kalian seperti utusan kaum ‘Aad’.”

(HR. Ahmad no. 15388 dan Tirmidzi no. 3196 dalam aplikasi Lidwa)

Ibnu Katsir berpendapat bahwa hadits ini mengenai kaum ‘Aad Kedua.[4]

Karena hadits ini menyebut berdoa di Tihamah (kota Mekkah), padahal kota Mekkah baru ada setelah masa Nabi Ibrahim, sedangkan kaum ‘Aad Awal berasal dari masa sebelum Nabi Ibrahim.

Juga karena hadits ini menyebutkan azab berupa awan yang membawa api, sedangkan kaum ‘Aad Awal dibinasakan dengan awan yang membawa angin dingin.

Hikmah

Kisah kaum ‘Aad Awal menunjukkan bahwa Allah tidak pernah merasa sayang untuk memberikan hukuman pada suatu umat, walaupun umat itu telah menghasilkan capaian peradaban yang memukau.

Peradaban kaum ‘Aad Awal yang telah menorehkan kejayaan selama ratusan tahun, Allah hancurkan hanya dalam hitungan hari.

Wallahu A’lam

[1] David M. Rohl, Legend: The Genesis of Civilisation (London: Century, 1998), hlm. 215 -216.

[2] https://www.forbes.com/sites/davidbressan/2019/10/30/climate-change-caused-the-worlds-first-empire-to-collapse/?sh=3d53e62a44e1 (diakses pada 21 September 2023, pukul 11.40).

[3] Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi (Jakarta: Ummul Qura, 2015), hlm. 166.

[4] Ibid, hlm. 186.

--

--